Reminiscing (again)
Menulis sebagai Terapi
Dua hari ini kami PCPM mendapatkan pelatihan general writing skills. Kelasku, kelas B, diajar oleh seorang trainer berlatar belakang jurnalis dan sepertinya umur beliau sudah hampir kepala lima. Saat memberikan komentar pada tulisan salah satu teman yang bercerita mengenai orang paling penting dalam hidup, beliau menyeletuk bahwa tulisan bisa menjadi semacam terapi.
Di situ aku tersentak. I was doing it all this time. Bagiku menulis adalah ekspresi hati. Makanya sebagian besar isi blog ini tidak penting. Cuma curhat doang. Tulisan mengalir begitu saja dari tangan, kata-kata pun meluncur tanpa melalui pemikiran panjang tetapi menggambarkan emosiku saat itu. Sembari menulis sebenarnya aku sedang berkomunikasi dengan diriku sendiri. Tiba-tiba saja tulisan yang awalnya berisi emosi negatif mendadak penuh kata-kata positif karena sebenarnya hatiku tahu apa yang benar dan seharusnya dilakukan.
Sebelum kenal yang namanya blog, aku punya 4 buku harian. Buku harian pertama kudapat waktu menang lomba menggambar anak SD. Jadi kira-kira kelas 3 SD aku mulai menulis di buku harian itu. Isinya ya benar-benar menulis kegiatanku hari itu apa saja. Masih anak-anak banget. Misalnya, “Hari ini aku main monopoli di rumah Muti sambil nunggu dijemput Ibu.” Buku harian itu habis tepat saat aku lulus SD.
Buku harian kedua aku kasih nama “Diary of mayhem”. Menginjak SMP, yah namanya masa puber, banyak gejolak emosi. Pun banyak kejadian yang membuat jiwaku yang masih belasan tahun itu benar-benar terpukul. Aku mulai menulis rekaman-rekaman kejadian itu serta menjelaskan emosi apa yang waktu itu kurasakan. Kadang-kadang aku menyelipkan kata-kata motivasi yang kudapat dari teman atau nasehat seseorang sebagai penutup rekaman kejadian itu.
Di kelas 3 SMP aku mulai kena cinta monyet jadi di akhir-akhir buku harian juga suka terselip cerita mengenai persinggungan aku dengan kecengan. Persinggungan ya, cuma seremeh “Aku duduk di depan dia” pun aku tulis saking senengnya. Kalau dibaca lagi sekarang sih jatuhnya norak. Padahal dulu pas nulis tuh rasanya lagi jadi penulis novel, detail banget dan yakin suatu saat tulisan itu bisa jadi skenario film layar tancap. Di titik ini aku mulai merasa menulis menjadi suatu kebutuhan karena ada rasa menggebu-gebu, misal pengen ngobrol sama kecengan, yang tidak berani kulakukan. Jadilah semua perasaan dan keinginan yang terkungkung itu tumpah ruah jadi sebuah tulisan dan pada akhirnya, entah kenapa, ada perasaan lega. Mungkin itulah sebabnya antara aku dan kecengan ini tidak pernah terjadi apa-apa, hahaha…
“Diary of love” nama buku harian ketigaku. Kebayanglah isinya, pasti banyak soal cinta-cintaan. Yah soalnya di SMA inilah aku mulai pacaran sama 1 orang dan jelas bukan sama kecengan waktu SMP. Hubunganku sama 1 orang ini banyak menguras emosi dan air mata. Jadi biasanya tulisanku dimulai dengan rentetan emosi, lama-lama bercerita soal kronologis kejadian yang terkait, dan secara tidak sadar biasanya aku menulis solusinya. Intinya dengan menulis membantuku berpikir secara jernih dan runtut.
Pernah juga, saking emosinya terhadap suatu kejadian (dan bukan tentang pacar), aku menulis dengan huruf yang sangat besar, acak-acakan dan penuh penekanan sampai hampir robek kertasnya. Lucunya, semakin aku menulis lebih banyak kata, ukuran hurufnya makin kecil dan tekanannya berkurang sampai akhirnya tulisanku normal kembali dan isinya penuh kata-kata yang memotivasi. Dari yang awalnya menulis sambil berurai air mata, di akhir tulisan aku sudah siap menghadapi hari selanjutnya.
Sejak tulisan itulah aku mulai merasa menulis menjadi sebuah aktivitas wajib kapanpun aku merasa penuh emosi, terutama emosi negatif. Setelah menulis pikiranku menjadi lebih tenang (apalagi kalau setelahnya langsung tidur), soalnya aku senang menulis malam. Menulis menjadi sebuah laporan bagi diriku sendiri dan tidak jarang aku menulis dialog dengan diri sendiri.
Aku baru sadar sekarang. Setelah dipikir-pikir, sampai SMP aku sangat pemarah. Kemarahanku tidak pandang bulu serta situasi. Setelah marah aku bisa menangis dan berteriak histeris seperti orang gila, padahal cuma gara-gara digoda sama teman. Kalau bukan karena menulis sebagai bagian dari pendewasaan diri, mungkin aku yang sekarang lebih banyak berperilaku buruk.
Menulis membuatku tenang dan meningkatkan kontrol diri. Aku tidak sadar hal tersebut sampai pengajar di kelasku bilang bahwa menulis bisa menjadi terapi. Sekarang semuanya jelas dan beralasan.
Aku tidak menyarankan mentah-mentah untuk menulis sebagai kegiatan utama terapi. Toh terapi bisa berbagai macam bentuknya, cuma kebetulan yang cocok bagiku adalah sesederhana menulis.

Mengikuti Arus Global Regulasi Perbankan
Krisis global yang berlangsung sejak 2007 membuat Basel Committee merevisi kerangka regulasi perbankan yang dikenal dengan Basel. Kini Basel III telah diperkenalkan dan bank sentral di seluruh dunia sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kerangka tersebut, termasuk Indonesia. Basel III ini digembor-gemborkan oleh negara maju (yang kini terkena resesi) sebagai langkah preventif dari krisis selanjutnya. Apakah hal ini juga berlaku bagi Indonesia?
Basel III adalah pengembangan dari Basel Accord yang berisi rekomendasi pengaturan dan pengawasan perbankan yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Basel Accord yang pertama, atau yang lebih dikenal dengan Basel I, merupakan sebuah regulasi dalam penyediaan modal minimum bagi bank. Kerangka Basel bukanlah suatu kewajiban yang harus diikuti, akan tetapi regulator regional yang memiliki kekuatan penetapan dapat memaksa sebuah negara untuk mengimplementasikannya. Karena pada awalnya BCBS merupakan representasi dari negara yang tergabung dalam G-10 major economics, negara yang tergabung dalam grup ini biasanya mengimplementasikan kerangka Basel, termasuk Indonesia yang kini menjadi anggota G-20.
Indonesia, di bawah Bank Indonesia, telah menerapkan Basel II sejak tahun 2007. Belum selesai dengan Basel II, krisis global melanda. Basel Committee pun melakukan pengkayaan kembali terhadap kerangka regulasi tersebut sehingga dipublikasikanlah Basel III yang dinamakan International Regulatory Framework for Banks pada tahun 2011 yang diharapkan akan bisa selesai diimplementasikan di seluruh dunia pada awal tahun 2019.
Banyak kritik yang diajukan pada Basel II, salah satunya adalah Basel II sendiri merupakan penyebab dari krisis global 2007. Kerangka regulasi yang diterapkan dalam Basel II justru tidak mencerminkan prinsip kehati-hatian dan malah memperparah keadaan ekonomi suatu negara. Walaupun banyak yang berargumen bahwa krisis terjadi sebelum Basel II selesai diterapkan, sentimen negatif terhadap Basel III terus bergulir.
Pertama, justru karena Basel II belum selesai diterapkan, apa yang menjamin bahwa perubahan yang diperkenalkan di Basel III akan lebih baik dari yang sebelumnya? Basel III menyaratkan kewajiban penyediaan modal minimum yang sama besar tetapi dengan instrumen pemodalan yang lebih ketat. Belum lagi kewajiban penyediaan modal tambahan apabila Bank tersebut termasuk bank yang berdampak sistemik secara internasional, plus modal cadangan yang dimaksudkan menjadi bantal ekstra ketika terjadi krisis. Walaupun kondisi rata-rata modal Indonesia lebih dari dua kali lipat modal minimum yang ditentukan oleh Basel III, tetap saja penyesuaiannya merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi perbankan Indonesia.
Kedua, regulasi di Basel III masih menyisakan ruang diskresi bagi regulator nasional untuk menetapkan kebijakannya. Diskresi, yaitu kebebasan dalam menetapkan kebijakan yang tidak ditetapkan dalam Basel III, merupakan pedang bermata dua. Diskresi bisa berarti fleksibilitas sekaligus ancaman risiko lain yang disebabkan oleh perbedaan regulasi antar negara. Fleksibilitas bisa berarti hal yang baik karena regulator masing-masing negara dapat menerapkan apa yang menurut mereka cocok dan sesuai di negaranya. Tapi jika masing-masing negara memiliki standar yang berbeda-beda, dikhawatirkan akan terjadi arbitrase internasional alias “iri-irian” karena pelaku perbankan akan lari ke negara dengan regulasi yang lebih longgar.
Ketiga, ini juga merupakan pertanyaan besar bagi setiap negara yang berniat menerapkan Basel, apakah Basel III benar-benar dibutuhkan? Kerangka regulasi yang diterapkan di Basel III cenderung membahas aktivitas perbankan yang terlalu canggih seperti sekuritisasi, lindung nilai, dan trading book. Perbankan Indonesia, untungnya, tidak sepintar perbankan barat sehingga instrumennya cenderung primitif tetapi rendah risikonya. Mungkin ini yang namanya blessing in disguise, karena kondisi perbankan Indonesia yang seperti inilah yang membuat Indonesia aman dari krisis global sejak 2007.
Jangan-jangan Basel III ini juga memiliki hidden agenda dari negara tertentu untuk menekan pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Negara berkembang kini menjadi penyelamat negara maju. Apakah negara maju tersebut tidak malu meminta-minta? Ibarat pelari yang sudah tertinggal dari lawan-lawannya, mereka melobi juri agar juri mau merubah aturan perlombaan.
Terlebih lagi, karena kita sendiri yang mengetahui kondisi perbankan kita, seharusnya kita tidak telan mentah-mentah seluruh kerangka regulasi Basel. Misalnya, aturan sekuritisasi yang baru mungkin tidak diperlukan bagi bank lokal karena mereka sejauh ini belum terlibat dalam instrumen tersebut. Ambil yang baik dan cocok bagi perbankan Indonesia dan lakukan penyesuaian. Tinggalkan yang tidak perlu tetapi tutuplah risiko dari apa pengaturan yang tidak kita ambil tersebut dengan kebijakan yang kuat dan komprehensif.
Ini adalah tulisan yang awalnya saya buat untuk training General Writing Skills di pendidikan klasikal PCPM 30. Berhubung makalah saya mengambil topik tentang Basel III, jadi saya ga kepikiran hal lain buat ditulis. Jadilah tulisan tersebut saya kembangkan lagi jadi sebuah post di blog ini. Semoga bermanfaat

Moving on might…
Moving on might be easy for him. For you, moving on for a better person in the future is indeed harder but worth it.
Moving on might…

Harus berani. Yeah!
Harus semangat, “Yeah!”
Pergi keluar dan teriakkan keras-keras, “Aku bisa!”
Aku akan pergi dari kehidupannya. Fokus pada tujuan hidup dan apa yang menanti di depan.
Tidak ada alasan untuk bersedu sedan.
Tetap tersenyum (walau mungkin dengan pahit kepadanya).
Tak perlu dilupakan, tak perlu dikenang, semuanya hanya pernah singgah.
Lupakan torehan yang dalam. Ingatlah sebagai tanda yang membuktikan betapa kuatnya diriku untuk menerima luka.

Closing Video for Klasikal PCPM (1)
Mid November, Topani said to me that he wanted to create a video based on PCPM 30 photos. Said it’s a good idea – and since there will be a “closing event” of klasikal – I told him that it will be played in that event.
Days rolls and Topani said he needed my help in sorting the photos and concepting the video. At the end we shared responsibilities, this video was fully created by myself (with Topani’s approval of cours) while Topani create another closing video about leaving klasikal.
I sorted out more than 18 GB photos – probably around 10.000 photos. Retouch them one by one — since I have no skill in photo editing, I edit them by trial and error to get the best effect that will convey the emotion.
About the background music, Ingatlah by Monita, I already like this song years ago. The lyrics talk about remembering “us” that has parted. Moreover, simple accoustic and bit jazzy arrangement will made you feel touched without being sad. When I gave this song a try with sample movements of the photos, the closing event (we called it “Inauguration”) committee said it’s good.
After more than 100 hours clean in sorting, re-touch the photo, arrange the movement and planning the cut, the video was done.
I didn’t expect anything when I create the video. For me, when Topani trust me to create this video by myself, it’s already a gift. A gift for me to present, to convey, how I love my fellows in PCPM XXX. Hence, when this video was played at the end of inauguration and received a very big and loud applause, I was trembling.
It was worth it. I put all my emotion about parting with PCPM XXX (there will be no more event that will unite us again at the same place and time), who has been with me for 3 months straight. It feels like having another family — very cohesive, always share and care, with each of them are unique and brilliant. I could not tangle any more words, what I can say is just “Thank you”.
I hope that they got the meaning, and the feeling that I felt when I create it.
*There’s also 2nd video which was edited by Topani and taken by Krisna. That video is also amazing that I’d like to share the stories behind it, in another post

Back to XBRL
Starting this year, we, PCPM 30 are scattered to departments in HQ and BI local representatives for On Job Training. The OJT Placement were announced on 2012 last working day. To my surprise, me, Tice, and Ayu were placed in Yogyakarta – 2nd class BI local rep.
I was so sure to be placed in HQ, and with my previous job in DPSI, at least I could go back to XBRL. That’s one of the reason for me, stubbornly rent room in Kampung Bali while for the last three months had to go to Kemang everyday. I was half grateful, half sad. Grateful for being granted an experience other than DPSI and HQ those I know quite well, but sad because I have to leave my comfort zone – friends and XBRL in Jakarta. It was set that our departure to local rep offices was on Jan 7th. Before that day, we were placed at HQ for preparation.
I told my ex-coworkers in DPSI about my OJT placement, with sad expression. They felt sorry. Even Pak Eddy, the director, told me “Perhaps the higher up dislike you,” with a poker face I could not guess.
Jan 3rd, when we were already on separate building between those who stay in HQ and will go to local rep office, Hesti suddenly hissed at me, “Laras, you’re going to local rep office?”
It was a question, as long as I remember. I didn’t understand her so I ask her to text. She gave me her blackberry with ongoing BBM conversation, written by another friend who’s in HQ group, “Laras and Tice to HQ.”
I pay no attention. The sudden news was too weird. Before that day, indeed there was a change in OJT placement involving 4 people. Their placement were exchanged so each of their OJT place was the same with their domicile. We – including me – were quite angry for how soft was DSDM. And if that time I were to be exchanged again, I’d feel so unease to the others too.
In 10 minutes, one of DSDM guy rushed in to our room with Royes beside him, said “Kartika and Laras, grab your bag, you’re going to HQ”. There’s no explanation, but I can tell that Royes who’s supposed to be placed in DPSI (HQ) was exchanged for me or Tice. The class were so silent I think they could hear me ask “Royes, where are you going?” and he answered “Yogya”. I left the room without backward glance, I was too confused.
As expected, we were requested by DPSI to be back. Why the request was late, I never know. Royes and Rizza were called to be exchanged with our placement. Since Rizza have certain circumstances, Ari volunteered to replace Rizza. I couldn’t say I was happy that time. My biggest concern was for those who have no oppurtunity in exchanging their placement.
Hours passed and I tried to accept the decision. At the end, me, Tice, Ias, Krisna, Andra, and Rizza are going to have OJT in DPSI for 4 months. I finally can enter SKMI – ex SAMI, my previous “administered” team although never officially involved in it’s day to day operation – while Tice is placed in PPA LS – ex PPMI. These two teams are closely related so I will switch division with Tice after 2 months. We are being focused to LSMK (Financial stability and moneteray report) data dictionary building.
The official day of my OJT started today. Three months leaving XBRL is enough to wipe more than 80% of my tacit knowledge in XBRL. I still remember the basics, but I already forgot most of the terms and … upon seeing the taxonomy architecture I created, I forget why did I choose certain elements. So today I spent my time on meetings and refresh my XBRL knowledge, shame
But my 3 months absence were exchanged with another business knowledge I got from klasikal. Now I can see a piece of information broader and somehow I can imagine blur strings connecting one information with another. It is fun I’m confused where to start…
I’m so happy to be back. To my old, my first, my lovely coworkers of exUkmi and now DPSI, and XBRL. Hope things will go well. For me, and for all thirtiers wherever they are.

Karena aku tak pernah mendoakannya
Hati ini kuserahkan kembali kepadaMu, Penciptaku, untuk Kau sinari dengan petunjuk yang terbaik bagiku.
Beserta bibirku yang terkatup untuk menelaah rasa, aku hanya ingin melantunkan doa.
Beserta mataku yang terpejam untuk menahan coba, aku hanya ingin melihat bahagia.
Beserta telingaku yang tertutup dengungan goda, aku hanya ingin mendengar fakta.
Untukku. Untuknya.
I don’t want to ask. I will let my assumptions play.
Assumptions that, he is busy. He is limiting contact. He is trying to move on. He finally gets somebody else to look up to. Whatever that is, he’s not here anymore.
Have to keep dignity. Have to be faithful. Have to be strong. Must-not-turn-back. Must not mention anything about it. Anything that may broke the will.
Hope he’s always happy after this.
*I’m writing this while listening to “Teman Hidup” by Tulus. One of the songs that always played during “those” moments. I don’t want to refer its lyrics since this particular person is definitely not a partner of life, but a term “Teman” made this song feels deeper.*
Karena aku tak pernah mendoakannya

Mengenal Tuple dalam XBRL Taxonomy
Ini adalah tulisan rintisan yang akan terus dikembangkan seiring dengan adanya waktu luang :p
Seperti baju yang punya model, taksonomi juga bisa dimodelkan dengan beberapa cara. Contohnya adalah model tuple. Menurut eyang Wiki, tuple adalah daftar elemen yang terurut.
Mendefinsikan tuple dalam taksonomi seperti membuat sate BBQ dengan beberapa aturan. Kalau tuple adalah tusuk sate yang tak terhingga panjangnya, aturan pertama adalah jenis makanan (informasi) yang ditusuk (dilaporkan) harus sesuai urutan. Pertama harus daging sapi, kedua harus bakso, ketiga harus kentang, keempat harus nanas, kelima harus tomat, dan seterusnya. Aturan kedua, satu jenis makanan tidak boleh ditusuk lebih dari sekali. Karena panjangnya tak terhingga, banyaknya jenis makanan yang ditusuk bisa tak terhingga juga.
Tapi tuple ini bukan sekedar tusuk sate biasa karena dia bisa punya anak tusuk sate (nah lho masa tusuk sate punya anak?). Memang pada kenyataannya tidak ada tusuk sate yang punya anak, tapi berhubung ini analogi terima dulu aja yaa… Hehe… Bayangkan si tusuk sate kita pegang secara vertikal dengan informasi pertama terletak paling atas. Setelah informasi kelima yaitu tomat, ada (anggap sajalah tusuk gigi yang menempelkan) tusuk sate anak secara paralel dengan tusuk sate induk. Jadi posisi tusuk sate induk dan anak sama-sama vertikal. Tusuk sate anak ini tentu saja memiliki konfigurasi makanan yang berbeda dan jenisnya harus berbeda dengan jenis makanan yang ada di tusuk sate induk.
Ingat bahwa tuple merupakan daftar elemen yang terurut. Tusuk sate juga merupakan elemen sehingga jika tusuk sate anak ada setelah makanan kelima yaitu tomat, maka tusuk sate anak memiliki urutan keenam. Seandainya ternyata masih ada jenis makanan lain yang ingin kita tusuk di tusuk sate induk, misalnya sosis, sosis ini akan menempati urutan ketujuh. Tapi posisi sosis ini harus berada setelah makanan terakhir dari tusuk sate merah didefinisikan. Kalau kita bicara koordinat sumbu y, berarti sosis akan berada pada titik -9. Kenapa minus, soalnya urutan elemennya didefinisikan ke bawah, bukan ke atas… Hehehe..
Tusuk sate anak juga bisa punya anak lagi. Setiap tusuk sate induk bisa memiliki tak terhingga tusuk sate anak yang berbeda. Misal tusuk sate induk bisa memiliki tusuk sate anak berwarna hijau, merah, dan kuning. Tapi antara tusuk sate hijau, merah, dan kuning ini tidak boleh memiliki konfigurasi makanan yang sama (bahkan jenis makanannya, sekali lagi, hanya boleh didefinisikan di satu jenis tusuk).
Tusuk sate anak pun bisa memiliki tusuk sate anak lagi. Ibarat tusuk sate yang subur, tusuk sate ini bisa berkembang biak terus menerus, jadi cucunya bisa punya anak, anaknya cucu bisa punya anak lagi, dan seterusnya. Tapi ingat aturannya, namanya juga anak, ga mungkin sama dengan induknya. Jadi tiap tusuk sate harus berbeda konfigurasi makanan.
Itu di taksonominya. Bayangkan ada seorang manajer restoran (penerima laporan) dengan lima orang pemasak (pelapor). Manajerlah yang menentukan konfigurasi sate yang harus dibuat oleh pemasak dalam sebuah taksonomi. Jadi taksonomi akan mendefinisikan tusuk sate apa, konfigurasi makanannya seperti apa, tusuk sate anaknya (jika ada), serta berapa banyak tusuk sate anak yang bisa dibuat (dilaporkan). Jumlah tusuk sate induk yang boleh dibuat tidak terbatas, tapi tusuk sate anak bisa didefinisikan berapa jumlah minimal dan maksimal yang boleh dibuat. Bisa saja nol (tidak wajib dilaporkan) atau maksimal 10 (yang dilaporkan).
Terus kapan kita memakai tuple dalam taksonomi? Ingat karakteristik utama tuple, yaitu berurutan dan bisa dibuat sebanyak mungkin alias tak terhingga. Oleh karena itu, tuple cocok digunakan untuk memodelkan laporan berjenis open table di mana salah kolom atau barisnya bisa berjumlah tidak terhingga. Misalnya penerima laporan membutuhkan pelapornya melaporkan informasi semua debitur yang ia miliki, ini salah satu jenis open table yang cocok dimodelkan dengan menggunakan tuple.
Tapi karena elemen informasinya harus berurutan dan terikat dalam tusuk sate tadi, setiap informasi punya keterikatan yang sangat tinggi dengan informasi sebelum dan sesudahnya pada tusuk sate yang sama. Kalau semua makanan yang ditusuk kita lepas semua dari tusuknya, kita tidak bisa membedakan satu potongan daging sapi dengan daging sapi lainnya. Kita juga tidak bisa tahu daging sapi yang ini tadi berpasangan dengan sosis yang mana. Kita tahu bahwa potongan ini adalah daging sapi, tapi terkadang kita harus tahu daging sapi ini tadi berpasangan dengan bakso, nanas, tomat, dan sosis yang mana. Contoh pada laporan debitur tadi, dari nomor debitur kita pasti ingin mengetahui alamatnya di mana, nomor teleponnya berapa, facebooknya apa…
Sedangkan kalau di model simple ataupun dimensional, setiap potong daging tadi sudah bisa bercerita sendiri karena setiap potong daging – alih-alih tertusuk pada tusuk sate – dibungkus dengan kertas yang menceritakan dengan apa saja potongan daging itu berhubungan.

Tiga Jenis Arsitektur Taksonomi
Secara garis besar, taksonomi XBRL dapat dimodelkan dengan tiga cara: simple, tuple, dan dimensional. Masing-masing cara pemodelan memiliki tujuan tertentu serta kekuatan dan kelemahan masing-masing. Gambar 1 menampilkan perbedaan struktur ketiga model tersebut secara umum untuk tiga informasi yang dilaporkan dalam neraca: kas dalam mata uang rupiah, kas dalam mata uang valas, dan kas total.
Simple Model
Model yang paling sederhana untuk XBRL taksonomi adalah simple model. Pada simple model, setiap informasi yang dilaporkan diwakilkan dengan satu item (base item). Ini berarti, satu item yang menunjuk pada satu context tertentu hanya boleh ditempelkan pada satu fact (value). Contoh 1 menunjukkan potongan instance dengan model simple. Jika <p0:item3> dilaporkan dengan value yang berbeda, misal 200, tetapi merujuk pada context yang sama yaitu “c”, maka dua fact tersebut akan dianggap duplikat.
Dimensional Model
Model dimensional dibuat untuk mengakomodasi kebutuhan multidimensionality reporting yang biasanya digunakan user untuk menganalisis data berdasarkan dimensi dan breakdown tertentu. Oleh karena itu, satu informasi yang dilaporkan, selain diwakili dengan satu base item juga diwakili oleh satu atau lebih dimensi dan membernya.
Hypercube menghubungkan base item dan kombinasi dimensi yang memungkinkan dari base item tersebut. Dalam gambar 1 di atas, item Aset berhubungan dengan hypercube, dan hypercube tersebut berhubungan dengan 2 dimensi. Visualisasi hypercube tersebut dapat dilihat pada gambar 2 (dengan penambahan 1 dimensi lain pada sumbu z yaitu dimensi jenis uang). Dengan model dimensional, user dapat menganalisis “Aset” dari 3 dimensi: mata uang, kategori aset, dan jenis uang. Koordinat yang diwarnai pada gambar 2 mewakili point of view Aset dengan dimensi kategori aset berupa kas, dimensi mata uang berupa rupiah, serta dimensi jenis uang secara keseluruhan.
Setiap fact dalam instance harus memiliki scenario (kombinasi dimensi dan member) yang berbeda. Jika ada yang sama berarti akan dianggap sebagai data duplikat. Karena satu context hanya bisa memuat satu scenario, maka jumlah context yang harus dibentuk harus sama dengan banyak fact yang dilaporkan.
Tuple Model
Tuple pada dasarnya sama dengan simple model, di mana setiap informasi diwakili oleh satu item. Akan tetapi pemodelan dengan tuple adalah menuntut daftar elemen yang terurut. Ini berarti urutan dari item yang didefinisikan pada taksonomi harus diikuti dengan urutan yang sama pada instance.
Tuple juga bisa memiliki anak berupa tuple lain. Banyaknya fact yang dilaporkan per tuple ini bisa tidak terbatas (kecuali jika max occurrence atribut dari child tuple didefinisikan pada taksonomi, maka jumlah tuple yang dapat dilaporkan dapat divalidasi). Contoh 3 menunjukkan bahwa tuple <t1:tuple1> mengapit kelompok item <p0:Item1>, <p0:Item2>, dan <p0:Item3> di mana satu set tuple tersebut bisa terus berulang tanpa dianggap sebagai informasi yang duplikat.
Karena karakteristik yang berbeda itulah ketiga model tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Tabel 1 membandingkan kekuatan dan kelemahan tersebut dilihat dari berbagai aspek.

Kontemplasi Pagi

Morning rays
Pagi ini mendung. Aku terbaring diam menatap langit-langit kosan dan mencoba menelaah rasa. Rasa-rasa sepi, penyesalan, sedih, gundah, dan rindu bercampur jadi satu. Satu per satu masa berkilat di benakku. Sudah lama aku tak begini. Biasanya aku bisa menahan semua emosi negatif yang muncul.
Malam sebelumnya aku memilah 11,4 GB foto untuk kubuat video. Mendengarkan lagu yang menguras emosi sampai puluhan kali. Sampai akhirnya lagu itu tak dapat menguras emosiku lagi. Sampai akhirnya foto yang kupilih tidak mewakili perasaan apapun.
Sore sebelumnya aku mengacuhkan pesan Ibu untuk tidak pulang dengan motor jika hujan. Pulang dari LPPI sudah gerimis, sudah gelap. Tapi kebrutalan kerasnya kepalaku membuatku menembus jalanan. Hanya dalam 200 m aku menembus Bundaran Senayan, aku bak sehabis direndam di kolam. Kalau bukan karena sayang notebook dan tas yang takutnya tidak tahan air, kubuka ponco yang selama ini kutolak untuk kupakai. Aku anggap bentuknya dan baunya yang sudah tidak jelas tidak memadai, tapi ternyata itu menyelamatkanku sampai ke kosan. Itu di luar kejadian motor dari sebelah kanan menyalip dan mencipratkan genangan air tepat ke wajahku.
Beberapa hari sebelumnya aku memutuskan untuk (lagi-lagi) tidak pulang ke Bandung akhir Minggu ini karena merasa ada pertemuan kelompok tugas. Aku sampai bertengkar dengan Yozzi lewat telepon di perpustakaan hanya karena ini. Sesal. Bodohnya diriku, aku bukan lagi anak kuliah. Kami adalah rekan kerja yang memiliki prioritas keluarga masing-masing di akhir pekan. Kemarin siang diputuskan bahwa kelompok kami bisa bekerja tanpa harus berkumpul. Seharusnya aku pulang.
Jadi pagi ini aku menulis hanya untuk menumpahkan segala perasaan negatif yang ada. Pagi-pagi sudah kalut. Pagi seharusnya ceria. Pagi seharusnya aku melihat wajah Ibu yang berseri karena hari ini dia bisa istirahat. Pagi seharusnya aku melihat wajah adik-adikku yang bahagia karena bisa jalan-jalan. Pagi seharusnya aku mencium bau rokok kretek dan kopi hitam Papaku. Sesuatu yang tak pernah kurasakan lagi sejak 14 tahun yang lalu.
Aku ingin pergi ke sudut dunia di mana hanya ada aku dan kehijauan. Jauh dari hingar bingar sosial. Juga jauh dari figur yang seharusnya kujauhi. Bayangan itu telah menutup lembaran hidupnya untukku. Tapi terkadang aku masih menoleh ke belakang, berharap bayangan itu masih ada.
Sebenarnya, mungkin aku hanya kesepian. Aku memiliki keluarga yang mencintai, pasangan yang mengayomi, dan teman yang mengamini, tapi aku menutup mata dan merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Aku merasa aku butuh waktu sendiri. Tapi di ujung waktu sendiriku aku kembali merutuk matahari pagi. Kenapa sinarnya tidak membawa kebahagiaan untukku?
Pertanyaan. Pertanyaan. Dan tulisan ini pun semakin panjang. Sebuah kontemplasi tiada akhir. Seharusnya kugurat saja di atas pasir, agar aku bisa melihat semuanya terhapus dalam hitungan ombak.

Lagi-lagi Bersyukur…
Ada alasan kenapa aku udah hampir 2 bulan belum mengupdate blog. Padahal udah gatel banget pengen sharing-sharing soal XBRL. Banyak banget yang ketemu aku di kantor dan bilang, “Loh, Mbak yang nulis XBRL di blognya kan?”
Waaah seneng banget bisa bantu bagi-bagi pengetahuan. Udah banyak banget yang ditulis sebenarnya, tapi apa daya, internet di kosan juga sudah hampir dua bulan mati. Jadi alasannya kenapa belum update lagi ya gara-gara aktivitas ngeblog berbanding lurus dengan availability internet kosan.
Sebenernya sih bisa tethering xp
Ada lagi alasan lainnya. Walaupun statusku on job training doang, kerja tetep full. Pengalaman 1,5 tahun kerja di direktorat yang sama, membuatku ga bisa lari dari masalah-masalah yang muncul dan harus segera ditangani. On job training = waktunya belajar, pulang cepat, dan main sama temen-temen?
Buatku, lagi-lagi jam 9 malam baru pulang. Sempat sih mengampanyekan work life balance bagi diri sendiri, maksimal jam 6 harus pulang. Kalau dihitung-hitung kampanyeku itu cuma bekerja 5 hari, itupun ga terus-terusan. Malah kayaknya selama 4 bulan aku di departemen sistem informasi itu, ya cuma ada 5 hari itu di mana aku pulang dan masih bisa melihat matahari.
Ga boleh ngeluh, toh aku happy ngejalaninnya. Dan aku ga sendiri. Kalau udah buntu, biasanya aku buka twitter dan mantau tweet anak pcpm 30 lainnya. Ada aja tuh yang sampai jam 4 pagi masih setia mengikuti diskusi reorganisasi, pengen pulang cepet tiba-tiba dikasih assignment sampai jam 11 malam padahal cewek, ada yang sabtu minggu lembur non stop…
Dan kalau dipikir-pikir lagi, harusnya aku lebih bersyukur. Walaupun waktu kerjanya lama, aku masih bisa bercanda-canda sama rekan kerja dan atasan, masih bisa main hula hoop di tengah kantor, nyeker kemana-mana, kosan juga cuma 10 menit… Di direktorat lain belum tentu aku ga bisa mendapatkan fun atmosphere itu. Plus kalau tadi denger rekan baru yang rumahnya nun jauh di sana, dia butuh 3 jam untuk perjalanan ke rumahnya di mana keluarga kecilnya telah menunggu.
Akhir kata dari post ngalor ngidul ini, lagi-lagi soal bersyukur atas apa yang kita semua dapatkan hari ini. Apapun. Mau kesel, sedih, gembira, capek, semuanya masih bisa disyukuri, alhamdulillah…

Mata Jendela Hati
Kemarin, seperti malam minggu muda-mudi pada umumnya *jyaaah* aku sama Yozzi makan bareng sama seorang teman kami yang sudah punya pasangan juga. Sementara cowok-cowok itu bicara bola dan nostalgia kejadian konyol bertahun-tahun lalu, aku dan pacarnya teman kami itu ngobrolin soal persiapan pernikahan (wanitaaa…). Mereka bakal married awal tahun depan, which is lucu karena kalau aku ingat-ingat, di antara teman-teman Yozzi, aku dan Yozzilah yang paling lama berpacaran tapi masih belum ada tanda-tanda persiapan pernikahan… Hahaha.. Sementara teman kami itu baru pacaran setahun belakangan dan tahun depan udah mau married aja *panas panas panas*…
Dari ngobrolin soal tempat pernikahan sampai katering, tiba-tiba sang calon nyonya ini nyeletuk, “Eh iya tau kalau lagi ngelahirin, pas ngeden bisa keluar pup juga…” kayaknya nyamber omongan cowok-cowok entah soal apa. Aku, yang baru tau bahwa ternyata melahirkan itu ga semudah “tidur – bangun – dan sudah ada yang nete” atau ga seindah “jerit – cengkram tangan suami – dan tiba-tiba ada suara oe oe” tapi malah ada “pup”nya – jadi excited. Lantas aku nanya, “Jadi maksudnya pas bayinya keluar bisa aja dia kena pup ibunya?” Wah kalau iya, berarti aku kalau nanti mau melahirkan harus makan makanan yang wangi aja, bunga kali ya? Kasian kan kalau pas bayinya keluar dia kena “dosa” emaknya yang abis makan burger king, huahahhaaha.
Tapi saat aku ngeliat Yozzi sambil nunggu jawaban sang calon nyonya, dia lagi ngeliat aku dengan, err… penuh kelembutan? Sekian tahun melihat matanya, ga pernah sekalipun aku ngelihat matanya selembut itu, sampai-sampai ada sepersekian detik aku yakin banget aliran darah aku berhenti. Bukan karena kaget tapi karena… senang… hahahahahhaa.. Itu mungkin kali ya yang dinamakan jatuh cinta lagi? Muahahahaha… Mungkin karena aku ga pernah ngomongin soal bayi di depan dia, karena aku jelas-jelas cerita bahwa aku ga suka anak-anak. Dan begitu aku keliatan excited soal proses melahirkan, kayaknya matanya tuh bilang “You’re going to be a mother of my children”
Tisu mana tisu??? Jadi melankolis gini… Kebanyakan nonton drama korea kayaknya.
Aku sudah sering menerima pandangan mata “aku sayang kamu” dari Yozzi, sering banget malah, sampai akhirnya jadi kebiasaan dan there’s no more butterfly in my stomach. Kadang juga aku bisa ngeliat “I’m very worried about you” pas mau berpisah pulang ke kediaman masing-masing. Pernah juga aku ngeliat “pancaran kemarahan” walaupun sangat samar karena dia bukan tipe pemarah. So for once he stared at me like yesterday, itu seperti semangat baru untuk terus menjalani kehidupan sama dia *hoeeeeek* Dia ga pernah melakukan hal yang romantis (FYI, aku cuma pernah dua kali dikasih bunga sama dia. Satu kali pas nembak, itu juga pake ngutang. Kedua kalinya pas wisuda, itu juga karena ada teman yang ngasih dia karena kasian “Kok Kak Laras ga dikasih apa-apa sama Kak Yozzi?”) so the only thing that can keep our relationship alive ya, tatapan matanya. Tatapan yang bisa membuatku percaya kalau he’s the one.
I know, it’s very silly to share something like this. But have you – those who are in a relationship – ever asked yourself, “What is the thing between you and your partner that could keep your love alive?” Bisa apapun, hobi, pola pikir, semangat, teman, keluarga… mungkin “kontrak”, uang, harga diri… Apapun itu, we should know it so if something happens, we could work it out somehow.
Dan buatku, salah satunya, adalah hal kecil seperti tatapan. Mungkin ketika tatapan itu hilang, di saat itulah kepercayaan aku terhadap dia juga ikut hilang.

Reflexology, best place so far…
Setelah berkali-kali ke tempat refleksi yang berbeda, akhirnya aku jatuh hati pada tempat releksi keluarga di dekat rumah… Bak peribahasa semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak, tempat refleksi ini sebenarnya sudah ada sejak 2011. Tapi baru kucoba di bulan Mei 2013.
Nama tempatnya, “Suku-Suku” yang artinya kaki. Tempatnya di ruko Arcamanik Endah yang selalu kulewati setiap kali pergi dan pulang ke rumah. Waktu itu aku berpikir, “Ya ela tempat refleksi di tengah pemukiman? Laku ga tuh?” Ternyata, dari yang tadinya cuma ngambil 1 lantai, sekarang udah 2 lantai. Eksistensinya selama 2 tahun boleh dibilang membanggakan, mengingat sudah banyak usaha lain yang gulung tikar di pemukiman.
Waktu mencoba Suku-Suku, aku ga berharap banyak, cuma berharap pijatan enak yang murah. Yang penting lelah sehabis nyetir Bandung Banjaran PP macet pula selama 4 jam, hilang. FYI, tempat refleksi di Bandung paling terkenal di Bandung namanya Zen, itupun 1 jamnya 60 ribu. Suku-Suku ini 1,5 jam hanya 50 ribu. Selain itu menawarkan totok wajah dan juga spa, harganya bahkan lebih murah dibandingin salon muslimah Humaira yang juga terkenal di daerah Arcamanik.
Cuma ya, jangan harap ada AC dan tempat sekelas Zen dengan ruangan remang dan aromaterapi menyerbak – cocok banget buat relaksasi. Tapi di Suku-Suku, cukuplah angin sepoi-sepoi dari jalanan Arcamanik yang selalu berlubang.. Hahaha… Lantai 2 nya dikhususkan untuk wanita dan juga terdapat ruang spa yang tertutup. Kalau ga salah, total cuma ada 5 bed untuk refleksi. Tapi menurut pemiliknya yang kebetulan “megang” aku, yang dia jual memang bukan tempat, tapi kesehatan.
Pemiliknya punya filosofi, siapapun yang datang ke tempat dia itu harus pulang dalam keadaan sehat, bukan sakit-sakitan. Dan memang kuakui, dari beberapa tempat refleksi yang pernah kudatangi, bukannya sehat yang kudapat malah sakit-sakit di sekujur kaki. Soalnya terapisnya ga begitu ngerti soal terapi dan main asal pijat. Walaupun ga bisa digeneralisir, biasanya salon kecantikan yang begitu (aku pernah ke JA di Grand Indonesia cuma buat refleksi, mahal banget sejamnya dan setelahnya sakit semua).
Ada juga yang cukup ngerti arti di setiap rintihan sakitku setiap kali dipencet, tapi sayangnya ga ngasih feedback kecuali kalau ditanya (Kakiku di Benhil). Apalagi waktu itu terapisnya cowok, pertamanya sih masih minta izin untuk mengangkat ujung celana, eh begitu mijet leher, tangan terapisnya main masuk aja ke balik dalaman kerudung. Buseeet… Tapi emang kalau soal harga (60 ribu 1,5 jam), keahlian, dan tempat, Kakiku cukup balance. Mungkin kalau waktu itu aku dipegang sama terapis cewek, everything would be almost perfect.
Yang cukup bagus, tapi juga termasuk mahal, tempat refleksi di Cikini. Tempatnya kecil banget, nyempil pula. Tapi terapisnya komunikatif dan ngasih feedback atas rasa sakit yang kualami. Setahun yang lalu, 1,5 jamnya 90 ribu.
Nah kalau si Suku-suku ini, pemiliknya ngerti banget soal kesehatan. Dia ngasih aku banyak feedback, plus nasehat-nasehat seperti harus banyak olahraga, jangan kebanyakan liat komputer, telepon lama-lama, jaga makanan, dsb. Hal itu dia berikan sesuai dengan rasa sakit yang aku alami, yang semuanya merupakan akibat dari gaya hidup pekerjaanku, haha…
Beliau juga cerita bahwa terapis yang baik seharusnya lebih “kuat” dibandingkan yang dipijat, karena kalau tidak, bisa-bisa terapisnya malah mengalirkan energi negatif kepada pelanggannya secara tidak sadar. Akibatnya malah pelanggannya jadi sakit setelah refleksi.
Awalnya ada satu titik di kaki yang benar-benar sakit waktu terapisnya pencet. Setelah puas nyiksa aku di titik itu, dia pindah lagi ke titik lain. Beberapa saat kemudian terapisnya kembali ke titik yang luar biasa sakit itu dan, hey, sudah ga sakit sama sekali. Dia bilang, berarti refleksinya berhasil memberikan manfaat ke tubuhku.
Nah pemiliknya ini ternyata orang yang memang suka olahraga dan sadar kesehatan. Beliau pernah mengikuti komunitas tenaga dalam, jadi sambil ngerefleksi dia juga sambil mengalirkann energi positif ke pelanggannya. Akhirnya pelanggannya pun jadi sehat.
Usaha refleksi ini dia lakukan secara tidak sengaja. Awalnya beliau bekerja di bank swasta, lalu setelah menikah dan dikaruniai 4 anak, dua diantaranya kembar, ibu ini mencoba berusaha di ruko yang sekarang ditempati Suku-Suku. Pernah jadi distributor kecap, tapi hanya bertahan 6 bulan. Lalu karena kontrak ruko berlaku untuk setahun, jadilah beliau mencoba usaha refleksi, itupun atas dukungan teman-temannya yang sama-sama punya kesadaran terhadap kesehatan yang tinggi. Eh malah keterusan… Beliau malah akhirnya tersertifikasi sebagai terapis refleksologi (ada asosiasi pemberi sertifikatnya tapi lupa namanya apa).
Kesimpulannya, so far Suku-Suku adalah tempat terbaik untuk menikmati pijat refeksi yang benar-benar untuk kesehaan, bukan relaksasi. Sayang tempatnya di Bandung, daerah pemukiman pula.. Rencananya sih pemiliknya mau coba buka di Bandara Husein. Yah kita lihat saja, semoga sukses

Hablumminannas
Dengan motor kuantar Ibu pulang ke pool Baraya di Melawai, dipayungi cuaca Jakarta hari ini yang panas. Begitu sampai di Baraya, yang terlihat sepi, Ibuku dijawab dengan nada acuh tak acuh oleh pegawainya.
“Penuh, waiting list juga penuh”
Tak ada kontak mata. Jawaban pun diberikan sekenanya.
“Ya paling jam 4 kalau mau”
Dan tetap dengan nada jawab malas-malasan.
Waktu baru menunjukkan pukul setengah dua siang. Mengingat biasanya waiting list pun masih bisa dapat jatah kursi, aku bertanya “Waiting listnya berapa orang?”
Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Entah apa yang dilakukannya dengan apa yang ada di bawah mejanya.
“Tiga orang” Matanya berputar kemana-mana, lalu menangkap mataku yang menyiratkan emosi karena panasnya cuaca dan nada jawaban yang diberikannya. Nampaknya pegawai laki-laki itu menangkap sirat kemarahanku, dia langsung memalingkan pandangan.
Aku berpikir sebentar untuk melakukan perhitungan antara tetap menunggu di Melawai bersama pegawai menyebalkan itu atau take chance ke Sarinah. Tapi karena biasanya pool kecil seperti Melawai memiliki daftar booking yang agak reliable, plus pegawainya yang tampak ogah-ogahan itu, aku memutuskan untuk pergi ke Sarinah.
“Sarinah aja, Bu.”
Seharusnya cukup sampai situ aku berbicara. Tapi rupanya lidah tak bertulang.
“Gak niat gitu” dengan nada keras sambil berpaling keluar.
Parahnya Ibuku juga menangkap gejala yang sama. Dan masalahnya, kalau soal sepet menyepet bagian pelayaan Ibuku jagonya. “Iya nih ga ada niat sama sekali.”
Sedetik kemudian aku langsung menyadari bahwa aku salah. Ga seharusnya aku ngomong “Gak niat gitu”. Siapa yang bisa menilai niat seseorang? Mungkin dia sibuk? Mungkin dia juga sama lelahnya? Kenapa aku ga bisa lebih sabar? Dan pertanyaanku memicu pernyataan menyakitkan lain dari Ibuku, membuat dosaku telah menyakiti seseorang bertambah dua kali lipat.
Biar bagaimanapun, ucapanku tak bisa dibenarkan. Tindakanku juga. Aku bahkan tidak pernah mengulas sedikit senyumpun saat berkomunikasi dengan pegawai itu. Rasanya, berdosa sekali. Hablumminannas… Astagfirullahalazim

PCPM 31 Bank Indonesia – sneak peek
*buka stats hari ini dan menganga…
Look at the hit, best ever! Cuma gara2 pcpm BI dibuka hari ini..
PCPM angkatan 31 ini dibuka pada saat BI sedang membutuhkan banyak sekali asisten manajer karena organisasi BI baru dirombak besar-besaran. Bisik-bisik tetangga, penerimaan sekarang bakalan lebih banyak dari angkatanku (30) yang cuma 150 orang (walaupun ada 150 lain yang masuk OJK sebagai pekerja kontrak waktu tetap).
Nah berhubung sekarang pengawasan BI udah pindah ke OJK, yg pengen masuk BI karena pengen jadi pengawas bank silahkan kubur dalam-dalam. Karena kabarnya dari jalur pcpm ini ga akan belok-belok ke OJK sama sekali..
Berhubung BI juga sedang melakukan penguatan kantor perwakilannya di luar jakarta, yang tersebar di beberapa kota dan kabupaten di hampir semua provinsi di Indonesia, siap-siap aja penempatan di luar Jakarta. Bukan mau nakut-nakutin, tapi namanya PCPM dari awal sudah kontrak mati “bersedia ditempatkan di mana saja” – maklum namanya juga jalur calon pemimpin BI. Jadi harus bisa segala macam pekerjaan, baik pekerjaan di kantor pusat yang spesialis maupun di daerah yang generalis.
Kapan dirotasi hanya Tuhan dan bagian SDM yang tahu.. Tapi kabarnya bagian SDM sedang berusaha memelihara motivasi pekerja baru yang seringkali turun karena salah satunya lokasi penempatan ini. Yaaa bisa jadi nanti PCPM 31 sudah dalam cakupan kebijakan SDM baru yang lebih baik dan adil terhadap pegawainya di kantor perwakilan.
FYI: angkatan 30 ada yang penempatan inisialnya di Jayapura, Kupang, Kendari, Lhokseumawe, Sibolga, Palangkaraya, Ternate…
Masalah gaji.. Hmm.. Yah, buat fresh grad cukup tinggi lah. Walaupun frankly to say, gaji angkatan baru tidak setinggi angkatan sebelumnya jika kita memperhitungkan inflasi. Kenapa begitu, soalnya katanya BI sedang melakukan rasionalisasi gaji biar ga jomplang amat sama gaji di instansi lain. But dont worry, kalau ga sreg, sebelum tanda tangan kontrak (angkatan kami) diberitahu masalah gaji pada saat pendidikan dan nanti pas pengangkatan. Hal tersebut dilakukan untuk menekan perasaan kecewa setelah diangkat, yang banyak dialami penerimaan sebelumnya.
Tapi kalau masalah fasilitas, kesehatan dan hari tua tetap jadi pamor BI. Kesempatan sekolah juga ada.. Tapi menurutku don’t set those things as your motivation to enter BI, karena pada akhirnya di dalam nanti bakal menemukan hal-hal “lucu” yang membuat fasilitas tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya… Daripada kecewa belakangan, mendingan sekarang sudah meluruskan niat, atau berani menerima konsekuensi ke depan.
Oiya banyak juga yang nanya kenapa IT ga termasuk jurusan yang dibuka untuk PCPM. Yah sayangnya memang kebijakannya untuk angkatan 31 demikian.. Karena kita akan memperkuat IT, diharapkan tenaga IT yang masuk memang orang yang kuat di bidangnya. Sehingga kabarnya nanti akan ada jalur expertise yang akan dibuka untuk orang IT (entah kapan ya, tunggu aja). Soalnya kalau dipenuhi dari PCPM, nanti kebawa-bawa misi “generalisasi” dan “kader pemimpin BI” (ini sebenernya curhat saya sih, hehe.. Berhubung saya lulusan teknik industri tapi kadung nyebur di sistem informasi selama 5 tahun terakhir, niat spesialisasi IT di BI tetap sulit dilaksanakan karena ekspektasi terhadap seorang PCPM yang seharusnya generalis).
But in my opinion, walaupun punya background IT, daftar aja dulu.. Lumayan memperbesar kemungkinan, terutama bagi kalian-kalian yang ingin menghilangkan atribut IT dengan pengalaman-pengalaman bisnis. Kalau tetep ga keterima, we at least we know the cause and we’ve tried
Oiya, PCPM 31 ini unik lho karena untuk pertama kalinya PCPM memiliki 2 jalur: jalur publik dan jalur perguruan tinggi. Jalur publik terbuka bagi semua orang yang memenuhi persyaratan. Sedangkan jalur perguruan tinggi merupakan jalur yang tertutup, bekerja sama dengan 10 universitas ternama di Indonesia untuk mendapatkan best talent. Makanya kita sering sebut-sebut sebagai talent scouting. Nah kalau kalian apply lewat salah satu dari 10 universitas tsb, dan mendapatkan undangan untuk mengikuti tes, berarti kalian masuk lewat jalur perguruan tinggi. Kalau apply lewat web, berarti jalur publik. Keliatannya tesnya barengan antara kedua jalur tersebut, tapi saya ga tau apakah nantinya akan ada perbedaan perlakuan (misalnya boleh tidak ikut tes tertentu atau mendapatkan special remarks).
Yang jelas, mau masuk dari jalur apapun, semua kesempatannya sama. Bukan berarti jalur perguruan tinggi selalu lebih baik daripada jalur publik. Pada akhirnya tetap tergantung garis tangan dan usaha. Makanya tunjukkan yang terbaik dan berdoa, sama banyak melatih ikhlas kalau ternyata belum berhasil.
Okeeeh.. Good luck yaa

My Ramadhan 1434 Story
There I was, sitting beside my grandma inside our car. I usually take front seat so it’s like the first time in years for me to sit beside her. Then I noticed her behavior: she did salam and whispered prays when we passed a mosque near our home.
If only my grandma is a moslem, I won’t be bothered to write about this. My grandma is a native Chinese who came to Indonesia in its early independence day. She even got married in China that she had to bring two out of her three children to Indonesia. She never stated she was moslem, neither did my late grandpa – who was ashed and buried under Chinese custom in Lampung. Her 6 children, whom one of them was still “left” in China, have different religions – Khonghucu (Confucianism), Catholic, Christian, and then Islam.
She mainly stays with her only one son’s family in Indonesia – Lampung. As far as I know, my grandma and my uncle’s family are practicing Khonghucu belief. It was said that my uncle’s family has to preserve our family tradition because he’s the only one son available in Indonesia (but funny because their daughter is a Catholic while their son has to be a Confucian).
She’s always uncomfortable upon staying in my family house (we’re moslem). One of her reason is that she could not conveniently do her praying rite, which involves praying desk and burning hio (incense). Moreover, it seems that my Chinese family still can not forget our late President’s treatment to Chinese people (they’re considered as third class citizen, does not have any rights especially in practicing their belief and forced to be localized) that being known by the moslem environment as a Chinese is their greatest fears*. But she ought to do it anyway. So, every time she went to pray, she went missing to the open roof with her hio.
Later on, I caught something interesting. My grandma’s praying time, lately, is almost the same with Subuh and Maghrib prayer. I’ve been accidentally went to roof when she prayed, and she’s doing Shalat like movement – although not precisely the same – with burning hio in front of her. I also remember that she told me once, “Although I cannot pray like you, I believe in Allah and always pray to Allah so your family will always be blessed”.
All of those events are not connected in my brain until yesterday when she said salam upon passing the mosque. I’m not writing you this story to tell you that my grandma perhaps already converted, no no… I’m just saying that, for old people like her with death awaits, do religion really matters? The most important thing to her about faith is to pray from heart to whoever considered as her God.
My grandma is almost 90 years old, and it’s already a bless that she’s healthy until now. She’s just experiencing hearing loss, but her memory is still good (not to mention that lately she uses Chinese more often, making me difficult to have a conversation with her. Maybe she can only retain her strongest memory, which is Chinese as her native language as one of it). Alas, learning something at their age is a very difficult thing to do. So it is very understandable that although (maybe) she could not become a Moslem fully when she dies, all the she can do is to treasure her belief that Allah exists (or perhaps coexists with another God and Goddess concept in Khonghucu, hehe).
Well, at least when she’s not here in this world anymore, there will be at least 4 kind of prayers chanted to her by her descendants. Statistically speaking, my grandma will have 4 times bigger chance than us – monotheist – to be pardoned according to a specific religion. Hahaha…
So the moral of the story is, breed a lot of children and told them to have different religions… *Kidding* I think, what lesson my grandma give is independence in faith. You can give your children freedom in choosing their belief, you can also accept that your children trying to convert you to their religion, but at the end, a religion is something that you have to choose yourself. She never states what kind of faith she’s currently having now, she does her praying rite by herself without bragging others to come with her, yet she harmoniously lives with our religion difference and accepting each religion customs.
She’s the one who taught me about respecting other’s difference in silence or reflect it in daily behavior. Having a divergence family is a bless, alhamdulillah. I won’t force them to follow my faith. All that I can do is to pray that Allah will bless them, whatever faith they have**.
*Well, my mother often told me to silence whenever I talked about our Chinese thingy. Even a conversation in Chinese has to be conducted in almost hissing way so our neighbor could not overhear. I’m proud to be half Chinese, but our Chinese tradition is not passed to my main family that I really do not know about it. I even had to take Mandarin classes to increase my Chinese identity (which turned out to be useless since I could not absorb anymore language – I’m naturally bad in languages).
**The context in this post is about theist (at least, believe in God). I’m not talking about atheist nor I want to mess with discussions about that. That’s a whole different level than this story.

Tes Kemampuan Umum PCPM XXXI Bank Indonesia
Broooo siiis,
kaget sekali saya, setelah yang lolos tahap administrasi diumumkan Sabtu kemarin, mendadak blog ini kebanjiran komen. Karena satu dan lain hal saya baru bisa buka hari ini, dan woww… hampir 3000 hit dalam 1 hari!!!
Dan karena kebanyakan nyari informasi mengenai tes kemampuan umum yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya, jangan sampai terjebak postingan saya ini. Perlu diingat bahwa proses rekrutmen BI bisa berbeda setiap angkatannya, tergantung penilaian dari Departemen Sumber Daya Manusia, tes apa saja yang perlu dilakukan. Tahapan tes saya waktu PCPM XXX belum tentu sama persis dengan PCPM XXXI ini. Tapi memang ada pola generalnya yang biasa dipakai.
Saya saja terjebak. Begitu dikasitau bahwa tes selanjutnya adalah tes kemampuan umum, pikiran saya langsung berkorelasi dengan tes pengetahuan umum – khusus waktu saya tes dulu. Itu sih bahannya susah, ada makroekonomi, kebanksentralan, akuntansi… Blaaargh…
Tapi terima kasih atas telepon dari salah satu peserta dari Banjarmasin sana, saya baru sadar. Tesnya KEMAMPUAN umum. Itu sih sama kayak Tes Potensi Akademik. Pernah kan ngerjain soal yang disuruh mencari pola selanjutnya dari sebuah serial gambar, mencari pola dari sebuah kubus, mencari angka selanjutnya dari sebuah deret.. ya seperti itulah.
Ternyata benar, setelah dikonfirmasi oleh rekan saya ke Experd, memang yang dimaksud adalah TPA. Untuk tahap II, menurut rekan peserta PCPM XXXI, baru tes pengetahuan umum dan khusus.
Update dari twitter Experd
@ippank_ip @sisintae ini merupakan aptitude test.
— Experd Consultant (@jobs_EXPERD) August 18, 2013
@distiii tes kemampuan umum tidak sama dengan tes potensi akademik. Utk mengerjakan tes ini tidak diperlukan persiapan khusus. — Experd Consultant (@jobs_EXPERD) August 19, 2013
Entah karena perbedaan istilah atau bagaimana, pihak Experd bilang TKU tidak sama dengan TPA. Intinya TKU ini untuk mengukur kemampuan dan potensi diri secara umum. Ya bisa jadi sih memang berbeda, tapi melihat dari pengalaman sebelumnya, selalu ada tes yang jenisnya mengukur kemampuan analytical menggunakan set soal seperti deret angka, pola bangun ruang, pola kubus, sinonim antonim, dan sebagainya. Berhubung tes seperti itu waktu jaman saya masuk ITB dulu, dan waktu adik saya ikut bimbingan masuk universitas, dibilangnya TPA,
@Nisa12 Tes tahap 1 hanya Tes Kemampuan Umum saja. Tes Pengetahuan Umum ada di tahap 2
— Experd Consultant (@jobs_EXPERD) August 18, 2013
@Nisa12 Ada 5 tahap tes.Tahap1 TKU,Tahap 2 TPU&TK Bhs Inggris,Tahap 3 Psikoasesmen,Tahap 4 Tes Psikiatri&Medcheck,Tahap 5 Interview pihak BI
— Experd Consultant (@jobs_EXPERD) August 18, 2013
So hati-hati ya, good luck!
Saya bukan cenayang. Saya bukan peserta. Saya bukan orang BI yang ngurus PCPM XXXI. Saya hanya pegawai BI, yang kebetulan baru melalui proses PCPM, yang kebetulan banyak kenal teman-teman yang lagi ikut proses PCPM XXXI. Informasi saya terbatas dan bukan sebuah harga mati, karena semuanya tetap pihak Experd sebagai pelaksana dan DSDM BI sebagai penyelenggara yang lebih berwenang dalam merilis informasi valid.
Hal-hal yang berkaitan dengan teknis tes, ANDA dan EXPERD yang lebih tahu. Saran saya, baca baik-baik persyaratan pendaftaran, informasi yang telah diberikan pihak Experd, FAQ, atau telepon EXPERDnya. Kalau ga dijawab, hubungi terus. Mereka menyediakan banyak kanal untuk dihubungi. Sudah tanggung jawab mereka untuk menjawab pertanyaan kalian
Pasti kalian lebih tahu daripada saya, soalnya saya sama sekali ga tahu menahu tahapannya ada apa aja, syarat administrasinya apa aja….
Sedikit sharing mengenai apa itu PCPM dan berbagai macam jalur masuk BI lainnya, klik di sini

Mengenal Berbagai Jalur Masuk Bank Indonesia
Berhubung banyak yang nanya soal apa itu PCPM (Pendidikan Calon Pegawai Muda) Bank Indonesia, post ini akan menjelaskan berbagai macam jalur masuk BI sebagai pegawai tetap. Ga cuma PCPM aja lho
Pendidikan Calon Pegawai Muda (PCPM)
Jalur paling top saat ini. Paling prestisius sejak dulu. Program ini dimulai sejak tahun 50-an dan angkatan saya yang terakhir masuk di tahun 2012 merupakan angkatan 30. Ga setiap tahun dibuka dan tidak ada periode pasti jeda waktu antar angkatannya.
Karena PCPM sampai saat ini masih dicap sebagai “jalur kaderisasi pemimpin Bank Indonesia” (makanya dianggap paling prestisius even di dalam BInya sendiri) PCPM memiliki syarat minimal lulusan S1. PCPM pada dasarnya merupakan nama pendidikannya. Setelah seseorang diterima di jalur PCPM, ia akan menempuh pendidikan terlebih dahulu sebelum dapat diangkat menjadi pegawai BI.
Lama pendidikannya bervariasi, ada angkatan yang cuma 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun… Nah, kalau saya 9 bulan. Isi pendidikannya biasanya klasikal (belajar teori di kelas-kelas, ada ujiannya lo), kesamaptaan (siap-siap 6 pack dan gosong), bimbingan spiritual, dan On the Job Training (OJT). Nah hasil pendidikan ini akan menjadi input penilaian apakah seorang PCPM dapat diangkat menjadi pegawai tetap BI atau tidak.
Ketika diangkat, semua PCPM akan memegang jabatan asisten manajer (dahulu staf, sebelum diadakan restrukturisasi jabatan) tanpa terkecuali. Walaupun S2 atau S3 ketika masuk PCPM, tetap ketika diangkat ya asisten manajer dulu. By level, namanya G3. FYI, BI punya 9 level dari yang paling rendah ke tinggi:
- G1 (messenger atau office boy)
- G2 (Staf)
- G3 (Asisten Manajer)
- G4 (Manajer)
- G5 (Asisten Direktur)
- G6 (Deputi Direktur)
- G7 (Direktur)
- G8 (Direktur Eksekutif)
- G9 (Asisten Dewan Gubernur).
Lalu kalau Dewan Gubernur levelnya apa? Ada yang berseloroh mereka levelnya G10, haha…
Oiya, tapi biasanya kalau udah S2 dan S3 sejak sebelum diangkat, akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk promosi atau mengisi jabatan yang membutuhkan gelar lebih tinggi dibandingkan yang baru S1.
Karena merupakan jalur “pimpinan”, seorang PCPM dituntut untuk menjadi seorang generalis. Kasarnya sih harus bisa dan harus mau mengerjakan segala bidang, mulai dari bikin model ekonometri, membangun sistem pembayaran, bikin ketentuan, event organizer, mengedarkan uang, sampai mesen kran air. Oleh karena itu, di setiap kontrak PCPM pasti ada pasal “sakti” bahwa “Saya bersedia ditempatkan di seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri maupun Luar Negeri.”
Makanya salah satu derita PCPM yang akan diangkat jadi pegawai adalah deg-degan penempatan pertama. Tapi penempatan pertama bukan berarti permanen. Rotasi, mutasi (dan apalagi promosi) ke tempat yang berbeda, baik antar divisi, antar departemen, antar kota, antar provinsi (haha emang angkot), antar negara, pasti terjadi. Saya suka bergurau, hanya Tuhan dan DSDM (Departemen Sumber Daya Manusia) yang tahu kapan seorang PCPM dipindah dan kemana.
Selain itu seorang PCPM juga dituntut untuk selalu belajar dan meningkatkan kompetensi. Pegawai lain juga sama, tapi kalau PCPM ada tuntutan dan ekspektasi yang lebih. Apalagi kalau ditempatkan di luar Jakarta, di mana sekarang kondisinya minim pegawai yang berasal dari PCPM. PCPM seperti layaknya dewa, dipuja dan dihina.. Hahaha… Di satu sisi memang level kemampuannya rata-rata lebih tinggi dibanding jalur masuk lainnya (kecuali MLE ya), di sisi lain banyak pegawai non PCPM yang gimanaa gitu sama PCPM.
Namanya juga jalur pemimpin, lagi-lagi, career path PCPM termasuk yang paling jelas. Untuk sampai ke level G8 (Direktur Eksekutif) pasti ada dan memang diperuntukkan demikian.
Oiya, PCPM biasanya direkrut dari jurusan ekonomi, akuntansi, manajemen dan teknik industri. Beberapa angkatan PCPM terkadang merekrut jurusan teknik, statistik, psikologi, dan pernah juga dibuka lebar untuk hampir semua jurusan.
Multi Level Entry (MLE)
MLE punya nama lain, namanya jalur “Expert” alias berpengalaman. Berbeda dengan PCPM yang tidak membutuhkan syarat pengalaman (malah ada kecenderungan untuk merekrut as fresh as possible dengan menerapkan batasan umur), MLE membutuhkan syarat pengalaman minimal 1 – 3 tahun. Namanya juga jalur expert, kebutuhan MLE sangat spesifik bergantung pada expertise yang dibutuhkan BI secara berkesinambungan.
Expertise di bidang IT dan financial trading merupakan bidang yang biasanya selalu diMLEkan dan jumlah kebutuhannya banyak. Dalam jumlah yang lebih sedikit, ada arsitek, dokter, ahli bangunan, dan ahli listrik. Mungkin ada beberapa “ahli” lainnya yang pernah direkrut melalui MLE. Yang jelas, MLE ini memberikan sarana bagi BI untuk merekrut pegawai berdasarkan keahlian spesifik yang BI butuhkan pada saat itu dan keahlian tersebut dapat digunakan BI secara berkesinambungan.
Sama seperti PCPM, MLE juga harus melewati tahap pendidikan yang berpengaruh pada pengangkatan. Tapi karena MLE sudah lebih spesifik (bahkan sudah tahu penempatannya di mana), materi pendidikan MLE tidak seluas PCPM. MLE biasanya hanya dibekali pengetahuan kebanksentralan serta OJT di departemen yang akan ditempati nantinya dalam waktu yang sangat singkat (1-3 bulan).
Setelah diangkat juga sama, masuk di level G3. Walaupun sudah expert, setau saya semuanya harus masuk di level G3 dulu. Exception is given kalau expertnya sudah level dewanya dewa. Katanya ada yang dari G3 naik ke G4 cuma dalam waktu 1 tahun saking dewanya, udah S3 pula. Padahal normalnya seorang PCPM naik dari G3 ke G4 kini 6 tahun.
Karena MLE ini ahli pada satu bidang spesifik, career pathnya belum didesain untuk mencapai level pimpinan BI. Setau saya, MLE paling mentok di G5 yang ada saat ini. Tapi bisa jadi itu disebabkan karena faktor MLE merupakan program baru, dan expert pun biasanya sudah lebih berumur dibandingkan PCPM.
Kalau ingin pekerjaan yang sesuai dengan keahlian, spesifik, dengan tempat kerja yang pasti, pilihlah MLE. Tapi jangan harap, untuk saat ini, bisa naik ke pucuk kepemimpinan BI.
Pegawai Tata Usaha (PTU)
Nah kalau PCPM dan MLE minimal S1, PTU dibuka untuk jurusan minimal D3. Dulu pernah ada kasus di mana ada lulusan S1 yang masuk lewat jalur PTU karena memang tidak disaring. Belakangan banyak S1 PTU yang menyesal karena sesuai namanya, PTU ini biasanya akan dipekerjakan di level administrasi pada departemen apapun. Oleh karena itu, sekarang PTU benar-benar dibatasi hanya untuk D3.
PTU juga ada pendidikannya. Lagi-lagi pendidikannya tidak seheboh PCPM, tapi rangkaian pendidikannya tetap sama. Ketika diangkat akan menjadi staf atau level G2. Dan kalau PTU, saat ini career pathnya pendek. Dari level G2 untuk G3 bisa 8 tahun, itu pun kalau benar-benar punya kemampuan lebih. Biasanya G3 akan lebih diprioritaskan untuk pegawai yang memiliki kemampuan analisis, padahal yang masuk PTU selama pekerjaannya di BI terlalu prosedural dan administratif.
Kasir
Anda Jujur? Memiliki fisik yang kuat dan tangguh? Seorang laki-laki?
Kasir diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan fungsi pengedaran uang BI. Sudah tau kan siapa yang mengedarkan uang rupiah yang saat ini dipegang? Seorang kasir memegang peranan penting dalam mengelola uang masuk dan uang keluar Bank Indonesia. Hitung duit milyaran, biasa. Di dalam ruangan dengan uang bernilai triliunan tanpa tergoda sedikitpun, biasa. Dan satu kemampuan yang kami selalu takjub dengan kasir adalah, kemampuan menghitung lembaran uang secara cepat.
Untuk menjadi seorang kasir minimal diperlukan gelar SMA. Lalu karena banyak bekerja dengan uang yang higienitasnya rendah, seorang kasir kini harus seorang laki-laki (katanya banyak kasus kasir wanita tidak dapat hamil karena pekerjaannya). Selain itu, kasir juga akan mengedarkan uang ke seluruh pelosok Indonesia dan hal tersebut merupakan pekerjaan yang berbahaya.
Kasir memiliki level G2. Career pathnya memungkinkan ia untuk naik lebih mudah dibandingkan seorang PTU, karena kasir hanya terdapat di dalam 1 fungsi, yaitu pengedaran uang. Jadi cukup banyak saya melihat level G5 yang dulunya adalah seorang kasir.
Lainnya
Selain 4 jalur favorit dan paling terkenal di atas, BI juga punya jalur rekrutmen khusus untuk keamanan. Dulu bahkan pernah ada jalur atlet.
Dahulu juga ada jalur khusus pengawas bank (PCPB). Perlakuan sama seperti PCPM, tapi kalau PCPB sudah pasti menjadi pengawas bank. Walaupun kini pada akhirnya tidak semua PCPB kini masih bekerja di perbankan. Jalur ini kini sudah tidak ada lagi.
Non Organik
Jalur-jalur yang saya sebutkan di atas merupakan jalur untuk pegawai tetap. Di BI tidak hanya ada pegawai tetap (organik), tapi ada juga non organik seperti Tenaga Harian Outsourcing (THOS) yang merupakan pegawai non organik “level pertama”. Maksudnya level pertama di sini adalah mereka biasanya selalu diikutkan dalam acara departemen, hahahaha. Dengan kata lain, orang luar yang dianggap seperti BI. THOS levelnya G2 dan masih membawa nama perusahaan yang mengoutsourcingkan mereka.
Selain THOS, ada juga pegawai swakelola seperti saya dulu. Swakelola ini merupakan praktik yang relatif baru untuk memenuhi kebutuhan SDM yang sangat mendesak, spesifik, dapat dikerjakan oleh orang non BI tetapi pekerjaannya tetap menjadi tanggung jawab pegawai organik BI yang mensupervisinya. Oleh karena itu, proses perekrutan swakelola relatif mudah dan tidak panjang (ini cerita saya dulu waktu keterima di BI sebagai swakelola)
Swakelola biasanya membutuhkan rekomendasi, artinya kebutuhannya tidak diumumkan ke masyarakat luas tapi disebarkan secara person to person. Swakelola terikat pada divisi yang mempekerjakannya melalui sebuah kontrak kerja, bukan kepada DSDM.
Nah jadi, pertimbangkan baik-baik jalur masuk mana yang cocok untuk Anda untuk masuk BI

I Volunteer to Help
*hela napas sebentar
Misalnya gini nih, karena satu pihak tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan, kamu menawarkan diri untuk membantu padahal itu bukan tugasmu.
Terus ketika pekerjaan “bantuan” itu selesai, hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Pertanyannya, itu tanggung jawab kamu yang mengerjakan, atau tetap tanggung jawab pihak yang tidak mau mengerjakan itu?
Atau jangan-jangan, tanggung jawab atasannya?
By manners, and in addition being responsible person, saya yang mengerjakan ya saya yang tanggung jawab. Terlepas dari apa itu tugas kita atau bukan, dengan kita bilang “kita kerjakan!”, itu sudah ada komitmen yang berpindah ke tangan kita. Masalah ada pihak lain yang melepas tanggung jawabnya karena tidak mau mengerjakan, itu adalah urusan dia dengan pimpinannya.
Tapi kalau saya bilangnya, “Ya saya bantu ya… Saya kan ga punya wewenang untuk melaksanakan hal tersebut. Seharusnya pekerjaan tersebut merupakan tanggung jawab divisi X. Tapi karena divisi X sedang kekurangan orang, sini saya bantu… Bantu lho ya.”
Komitmen saya hanya membantu. Apakah itu bisa dijadikan dasar pertanggung jawaban ketika hasil pekerjaannya went wrong?
Kata “bantu” sendiri pun sangat ambigu. Bagian mana yang kita bantu? Seberapa banyak yang kita bantu? Makanya ga heran kalau dari statement “saya bantu” bisa dianggap “saya kerjakan” oleh orang lain, terutama bagi pihak yang terlepas dari tanggung jawab pekerjaan tersebut. Berarti, antara mengatakan “Saya bantu” dan “Saya kerjakan” itu tidak ada bedanya. Beti, beda tipis. Setipis perbedaan lady boy Thailand dengan cewek biasa. Dari luar muirippp, cantiknya sama. Kalau bedah dalamnya, eng ing eng ketauan deh ada “pestol”nya *upsss hahaha
Cuma hati kecil saya merana. Soalnya saya sedang berada di posisi yang niatnya “membantu”. Wong saya cuma bantu kok saya dimarah-marahin. Masih untung saya bantu.
Lebih kasarnya lagi, “is there anybody out there who wants to do this tedious job yet fragile but very important that if this job is not done, then it’s finished for you? It’s only me. ME! I VOLUNTEER”
*melirik jam… it’s 30 mins past midnight*
*sigh*
Tapi tetap saja. Semakin saya nulis ini semakin saya merasa ga pantas marah-marah karena dimarahi atas pekerjaan yang sudah saya nyatakan akan saya bantu. However, the commitment, whether it is to help or to get it done, itu ada di tangan saya. Saya masih bertanya-tanya, kenapa saya marah?
Lagi sensitif karena load pekerjaan banyak? Mungkin.
Kekurangan sesuatu, seperti penghargaan? Ga juga. Tapi…
Bisa jadi.
Never known it sampai teman saya sedikit saya curcolin. At the end he simply just say sincere “Thanks for helping”
And that quite relieved me.
Seandainya tadi mereka bisa menyelipkan sedikit kata terima kasih ketika meminta saya untuk segera memperbaiki pekerjaan saya yang salah (itupun menurutku ada kontribusi kesalah pahaman dari pihak mereka juga yang menyebabkan kesalahan pada pekerjaan saya), mungkin saya ga akan sekacau ini.
Laras, take this: Self Note. In communication and respecting others.
